Cerita anak

Pelajaran yang Sangat Berharga
Oleh: Surya Gunawan

Idris tampak sangat senang hari ini. Soalnya ayahnya telah mengabulkan permintaannya. Idris diperbolehkan oleh ayahnya membeli sebuah senapan mainan dari hasil uang lebaran yang ia terima dari saudara-saudaranya. Uang lebaran hasil salam tempelnya cukup banyak tahun ini. Idris membeli sebuah senapan mainan yang sangat mirip seperti senapan sungguhan. Idris rasanya bangga. Ia merasa seperti seorang polisi yang membawa senjata. Memang cita-citanya ia ingin menjadi seorang polisi.

“Idris, ingat! Jangan pernah menembakkan senapan mainan ini kepada orang. Ingat itu!” pesan ayah kepada Idris. “Ayah tidak ingin orang lain menjadi terluka akibat senapan kamu,” sambung ayah.

“Baik ayah, Idris janji tidak akan menembakkan senapan ini kepada orang lain!” ucap Idris berjanji kepada ayahnya.

Keesokan harinya, Idris pergi bermain. Ia membawa senapan mainan miliknya. Senapan itu ia selempangkan di bahunya. Ia menuju ke kebun milik pak salim. Rencananya, ia ingin menembak burung atau binatang-binatang kecil di kebun pak salim.

Tidak berapa lama berjalan, akhirnya ia sampai di kebun milik pak salim. Idris kemudian mempersiapkan senapan mainan miliknya. Ia mengisi senapan mainannya dengan butiran peluru plastik. Setelah mengokangnya, ia mengendap-endap dibawah pepohonan yang ada di kebun itu. Matanya teliti melihat ke rimbunnya dedaunan, mencari kalau-kalau ada burung atau binatang lain yang sedang hinggap disana. Matanya sesaat terhenti kepada sebuah dahan pohon rambutan yang diatasnya sedang bertengger seekor burung gereja. Idris mulai membidiknya. Setelah merasa pas dengan sasaran, kemudian ia menarik pelatuk senapan mainannya. Dan akhirnya “dar…!” peluru keluar dari senapannya namun masih meleset sehingga membuat burung gereja itu terbang.

“Sial,…” ujar Idris. Ia pun kecewa. Setelah itu ia melihat seekor tupai di sebatang pohon kelapa, buru-buru ia membidiknyadan lantas menembak. Dan sekali lagi bidikannya meleset sehingga ia pun semakin kecewa. Akhirnya ia menembakkan peluru-peluru senapannya ke pohon-pohon dan benda benda lain yang menurutnya bisa menjadi sasaran.
Tiba-tiba dihadapannya melintas seekor ayam jantan. Idris yang melihat ayam tersebut melintas dihadapan, tidak serta-merta melewatkan kesempatan begitu saja.
“Ah ini baru sasaran empuk,” ujarnya dalam hati.

“Kali ini tidak boleh gagal lagi. Sekali ini harus berhasil. Coba, yang besar begini tidak kena, kan bikin malu,” ucapnya pada dirinya sendiri.

Idris segera menarik pelatuk senapan mainannya. Dan dalam sekejap, ayam itu mengeok sekuatnya sambil melompat dan berlari kebingungan karena merasakan sakit. Idris yang melihat hal itu tertawa senang. Dalam hati, ia puas karena dapat menyakiti ayam tersebut.
Ayam itu lantas berhenti berlari. Terlihat mata ayam itu berdarah. Ternyata tembakan Idris tepat mengenai mata kiri ayam itu. Mata ayam itu pecah. Darah mengalir dari mata ayam tersebut. Sesaat ayam itu melihat ke arah Idris. Idris yang berdiri setelah menembak ayam itu, dalam hatinya terlintas rasa ngeri. Ia juga merasa kasihan terhadap ayam itu. Ia merasa menyesal telah menembak ayam itu. Ayam itu lantas berkokok seolah menandakan dirinya marah karena telah ditembak oleh Idris. Setelah berkokok ayam itu pun pergi.

Idris lalu memutuskan untuk pulang ke rumah. Di perjalanan pulang, ia masih terus memikirkan ayam yang telah ia tembak tadi. Dalam pikirannya terbayang-bayang mata ayam itu pecah dan berdarah kena peluru senapannya. Ia bagai dihantui rasa bersalah.
Malam hari ketika tidur, Idris bermimpi buruk. Didalam mimpinya ia bertemu dengan ayam yang ia tembak tadi siang. Ayam itu sangat marah karena Idris telah menembaknya tanpa sebab. Ayam itu kemudian berubah membesar menjadi ayam raksasa. Idris menjadi takut dan gemetaran.

Ayam itu lantas berkata, “ Hai manusia, mengapa kau menyakiti aku tanpa sebab?”
Idris hanya terdiam dan tidak bisa berkata-kata lagi. Lidahnya kaku seakan membisu.
“Kau lihat akibat perbuatanmu! Kini mataku hancur dan aku merasakan sakit yang teramat sangat. Sedangkan kau merasa senang diatas penderitaanku.,” lanjut ayam itu.
“Ma….ma…af…kan aku!” ucap Idris pelan dan terbata.
“Maaf kau bilang! Semudah itu kau mengatakan maaf! Walaupun kami hanya binatang, tapi tidak sepantasnya kau berlaku semena-mena kepada kami,” bentak ayam itu.
“Aku menyesal. Maafkan aku!” ujar Idris meminta maaf kepada ayam itu.
“Tidak, aku tidak akan memaafkanmu. Sekarang aku akan mematuk sebelah matamu agar kau merasakan sakit seperti yang kurasakan,”

“Tidak, jangan…..jangan.! Maafkan aku, aku menyesal! Jangan,…jangan,…jangan patuk mataku, janga………………n!” teriak Idris panjang karena merasa ketakutan sampai.
Dan akhirnya ia terbangun dari mimpinya. Keringatnya mengalir deras. Nafasnya terengah-engah seakan jantungnya hendak copot. Ia pun menangis di kamarnya. Ia takut sekali, sebab mimpinya teramat seram. Ibu dan ayahnya yang mendengar suara tangisan Idris kemudian mendatangi kamar Idris. Mereka berdua lalu mencoba menenangkan Idris. Setelah tenang Idris kemudian menceritakan perihal mimpinya kepada orang tuanya. Ia juga menceritakan perbuatannya tadi siang. Ayah ibunya yang mendengar penuturan Idris kemudian menasehatinya. Mereka mengingatkan kepada Idris bahwa binatang juga makhluk ciptaan Tuhan yang perlu di sayang dan dilindungi. Oleh sebab itu kita tidak boleh mengganggu mereka bila tidak ada sebab yang jelas. Akhirnya malam itu Idris ditemani ibu dan ayahnya tidur dikamarnya. Dalam hati ia berjanji tidak akan menggangu dan menyakiti binatang lain lagi. Ia sudah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dalam hidupnya.

Komentar